Rabu, 16 April 2014

STRATEGI REKRUTMEN CALON ANGGOTA



PENDAHULUAN
Mahasiswa adalah elemen unik yang hadir di tengah masyarakat. Kehadirannya yang senantiasa diwarnai kekritisannya dalam merespon isu-isu yang berkembang di masyarakat membuat mahasiswa memiliki peran strategis. Sikap kritis tersebut bukanlah hal instan yang muncul begitu saja dari kepribadian seseorang. Sikap kritis dibangun melalui sebuah proses pembelajaran dan penyadaran. Organisasi merupakan salah satu gerbang pembelajaran dan penyadaran tersebut.
Karena itulah Mahasiswa dan Organisasi adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan karena mahasiswa membutuhkan wadah untuk mengembangkan intelektualnya, menyalurkan gagasan dan aspirasinya, fasilitas dalam pergerakannya dan sarana dalam berinteraktif, berkomunikasi dengan komunitasnya dan masyarakat baik intra maupun ekstra kampus. Disini mahasiswa akan menuangkan segala pemikiran dan merealisasikannya sebagai proses pembelajaran intelektual dan keilmuan yang telah dimilikinya.
PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) merupakan organisasi ekstra kampus yang seluruh orientasi dan kegiatannya berazaskan Pancasila, dijiwai Ke-Katolikan dan disemangati kemahasiswaan yang lahir pada 25 Mei 1947 diposisikan sebagai wadah aktualisasi intelektual dan gagasan bagi mahasiswa Katolik untuk menghasilkan karya dan pengabdian bagi gereja dan tanah air.
Dewasa ini eksistensi PMKRI terus diuji kemampuannya. Antusiasme mahasiswa Katolik sebagai calon kader menunjukkan penurunan yang signifikan. Era tahun 1990-an, tepatnya pasca reformasi tahun 1998 PMKRI terasa mengalami kemunduran serius baik dari sisi kualitatif maupun kuantitatif. Citra populis yang pernah melekat pada pundak PMKRI bergeser menjadi elitis, politis, bahkan cenderung hedonis. Pemikiran-pemikiran khas PMKRI yang dijiwai tiga benang merah (Kristianitas, Fraternitas dan Intelektualitas) dalam merespon isu-isu di ranah gereja maupun negara boleh dikata sering absen mewarnai publik. Pada sisi kuantitatif, kader sekaligus ujung tombak sekaligus sel organisasi secara populatif mengalami penurunan serius.
Permasalahan terutama mengenai kurangnya minat mahasiswa untuk ber-PMKRI mulai dibicarakan dalam berbagai forum diskusi khususnya dilingkungan intern organisasi, gereja maupun masyarakat sendiri. Semakin sedikitnya minat mahasiswa untuk berkecimpung dalam PMKRI menjadi sorotan serius. Ada kesan yang disampaikan berbagai pihak bahwa PMKRI tidak memperhatikan “Student Need” dan “Student Interest” sehingga mahasiswa menjadi tidak tertarik terhadap PMKRI bahkan lebih memilih organisasi lainnya untuk menempa dirinya.

PEMBAHASAN
Menurunnya kualitas terlebih kuantitas kader di tubuh PMKRI kurang lebih menjadi keprihatinan bagi seluruh elemen PMKRI. Sebagai organisasi gerakan tentunya perlu taktik dan strategi untuk memecahkan masalah ini. Di sinilah kiranya PMKRI mendapat tantangan yang sangat besar. Sebab disamping tujuan yang demikian ideal yang harus dicapai, waktu, ruang gerak dan sasaran terbatas hanya pada mahasiswa Katolik. Kondisi ini harus dipahami sebagai realita sosial yang dihadapi oleh PMKRI, sehingga sejauh mana keberhasilan PMKRI dalam melakukan aktifitas gerakan sangat tergantung pada seberapa banyak mahasiswa yang menjadi anggota PMKRI (dalam ukuran kuantitas), juga sejauh mana anggota PMKRI mampu melakukan proses penyadaran hingga terlibat dalam perubahan sosial baik individu maupun kelompok di tengah gereja dan masyarakat (dalam ukuran kualitas).
Penulis mencoba memetakan kondisi mahasiswa secara umum dalam 2 ruang. Yang pertama ruang kampus:
1.   Sosial politik; Dunia kampus tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Mahasiswa tetap jadi garapan strategis bagi kepentingan politik tertentu. Hal ini terlihat dari gerakan mahasiswa yang erat kaitannya dengan iklim politik kekinian dan ideology politik tertentu.
2.  Pendidikan; Kemampuan analitis dan konsepsi keilmuan mahasiswa sangat ditentukan oleh desain sistem pendidikan yang sedang berjalan. Pada aspek inilah, kiranya masa depan bangsa secara umum sejak dini dapat digambarkan dari warna dan karakter budaya mahasiswa yang terbentuk dari proses pendidikan tersebut. Logikanya, bahwa sebagian besar penentu kebijakan dan strategi bangsa di berbagai bidang didominasi oleh kalangan akademisi.
3. Teknologi dan Informasi; Dunia mahasiswa adalah tempat yang sangat strategis bagi keberlangsungan distribusi produk-produk teknologi yang erat kaitannya dengan pembangunan pasar global serta upaya menciptakan budaya konsumerisme. Dalam relitas keseharian dapat dilihat bahwa hampir semua daerah yang memiliki basis universitas, akses terhadap hasil teknologi dan produk-produk mutahir selalu terdepan. Pragmatisme mahasiswa yang akhir-akhir ini semakin marak, mengindikasikan bahwa dunia mahasiswa telah terkooptasi oleh budaya pasar yang mendorong manusia menjadi konsumtif, mendorong hidup instan dan keinginan untuk mengikuti budaya tren yang berkembang.
Yang kedua dalam ruang pelayanan (gereja):
1.   Kerohanian; Yang saya artikan disini adalah spirit ke-Katolikan yang mendasari anggota untuk bertindak dan terlibat bukan suatu ideologi. Semangat ke-Katolikan ini menjadi suatu ruh yang hanya didefinisikan an sich kerohanian. Pada aspek inilah mahasiswa Katolik terkadang terjabak dalam suatu pandangan bahwa fungsi pelayanan hanya berhenti di ruang-ruang gerejawi.
2.      Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK); Dalam pembentukan mindset mahasiswa Katolik, KMK, pendamping dan organ-organ Katolik intra kampus memiliki peran signifikan. Hal ini terlihat ketika perjumpaan pertama dalam open house, menimbulkan kesan pertama dalam perspektif mahasiswa baru tentang wadah pelayanan, pengembangan diri serta gambaran tentang situasi kampus. Selain itu keberadaannya di dalam kampus yang langsung maupun tidak dapat menjangkau seluruh anggota.
3.   Gereja; Yang coba saya definisikan adalah keberadaan pastor moderator dari KMK-KMK. Secara umum peran gereja dalam konteks KMK di tengah kampus adalah sebagai penasihat dan pengarah rohani. Hal ini lumrah mengingat gereja memiliki kewajiban dan tugas sebagai gembala spiritual umat. Alhasil, pastor moderator selaku guru spiritual anggota memiliki peran tokoh dalam membangun mindset mahasiswa Katolik di kampus.
Pada dua ruang inilah gerakan PMKRI dihadapkan pada tantangan dan kondisi sosial yang sangat dilematis. Disatu sisi jika tetap konsisten pada idealisme gerakan yang diusung, maka dipastikan minat mahasiswa untuk ikut menjadi anggota serta kesiapan kader untuk tetap berpegang pada tradisi gerakan sulit diharapkan. Sementara pada sisi yang lain pilihan desain gerakan yang lebih fleksibel dengan mengakomodir arus budaya yang dominan, secara kuantitas jumlah anggota mungkin dapat dipertahankan, namun secara kualitas, kesadaran pada idealisme yang diusung menjadi sulit untuk ditanamkan

GAGASAN
Secara garis besar setelah melihat ilustrasi dunia kampus dan gereja hari ini, ada beberapa hal yang kemudian dapat kami rumuskan kedalam sebuah pola dan formulasi rekrutmen anggota. Diantaranya:

1.      Penguasaan posisi-posisi strategis dalam unit/lembaga mahasiswa tingkat universitas
Tidak bisa dipungkiri bahwa PMKRI memiliki track record dalam mencetak kader-kader dengan leadership mumpuni. Penguasaan akan lembaga/unit kampus kemahasiswaan menjadi penting sebagai alat sosialisasi eksistensi PMKRI dalam karya dan pelayanan di ruang kampus.. Sehingga ketertarikan mahasiswa Katolik untuk berorganisasi dapat dimunculkan. Proses infiltrasi ke dalam suatu lembaga atau unit tidak harus yang bersifat kerohanian tapi juga yang bersifat umum sehingga karya dan pelayanan dari kader-kader PMKRI memang menjadi teladan bagi mahasiswa Katolik lainnya.

2.      Harmonisasi hubungan dengan KMK dan aparatur kampus
Harmonnisasi merupakan metode terpenting dalam membumikan PMKRI di dunia kampus, karena betapa tidak, permasalahan yang seringkali dianggap paling mengganggu terciptanya kelancaran proses perkaderan adalah ketika adanya resistensi dari KMK dan aparat kampus lainnya (red- dosen, civitas akademik, dll). Alhasil seringkali PMKRI di black campaign (dibunuh secara karakter) oleh segelintir oknum KMK sehingga timbul resistensi dr kalangan mahasiswa. Bahkan dalam beberapa kasus ada yang melarang anggotanya untuk bergabung dengan PMKRI. Pola komunikasi yang baik dan agenda kerjasama yang sinergis tentu perlu dirumuskan bersama-sama agar tidak ada kesalahpahaman tentang maksud dan keberadaan PMKRI di dunia kampus. Intinya keberadaan PMKRI bersama KMK di kampus dalam konteks saling membangun dan mengisi terutama dalam pengembangan mahasiswa Katolik.

3.      Harmonisasi hubungan dengan pihak gereja (pastor Moderator)
Dalam konteks PMKRI, mendengar saran dan nasihat beliau tentu sangat penting, karena lebih dari itu, selain sebagai penasihat rohani, pastor moderator diharapakan mampu membangun kesan positif PMKRI di tengah mahasiswa Katolik yang lainnya. Artinya yang kita harapkan ada proses sosialisasi dari pastor moderator tentang PMKRI kepada mahasiswa Katolik. Diakui atau tidak pastor moderator berperan penting dalam membangun paradigma mahasiswa Katolik. Meskipun jujur diakui terkadang ada benturan gagasan antara kita dengan pastor moderator.

4.      Sosialisasi Simbolik.
Meskipun metode ini terkesan radikal untuk kalangan minoritas (umat katolik) namun tidak salah juga untuk dicoba. Ada kecenderungan budaya mahasiswa yakni senang menggunakan simbol-simbol tertentu. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena setiap orang tengah mencari simbol-simbol bagi dirinya (kerinduan identitas simbolik). Oleh karena itu, misalnya dengan cara memakai baju-baju kaos, jaket berdesain logo PMKRI sebagus mungkin serta membuat stiker yang dapat menarik perhatian mahasiswa.

5.      Budaya Kolektivitas
Menunjukkan budaya kolektivitas PMKRI baik di internal kampus maupun di tengah gereja juga menjadi sebagai salah satu strategi yang penting menggaet simpati para mahasiswa non-PMKRI di kampus-kampus. Sebab, seperti yang disebut di atas, bahwa hari ini ada sebuah kecenderungan orang-orang untuk kemudian berusaha mencari jati diri (identitas) masing-masing yang di anggap sudah mulai kabur di telan globalisasi.

PENUTUP
Beberapa strategi rekrutmen diatas merupakan proses-proses yang dimungkinkan terjadi secara alamiah (given) oleh kader-kader PMKRI. Diasumsikan karena telah menjadi kebiasaan-kebiasaan yang di tradisikan dan akhirnya dianggap efektif guna rekrutmen anggota. Perkembangan situasi dan kondisi memungkinkan adanya perubahan variabel dalam memetakan situasi kemahasiswaan. Kedepannya, perhatian yang serius lebih utamakan kepada sinergisasi sistem pembinaan (formal, informal dan non-formal) dengan mengelaborasi need student, pengembangan kapasitas intelektual maupun penajaman teori-praksis sosial sesuai visi perhimpunan dengan tetap berpedoman pada aksi-refleksi-aksi. Terima kasih.



Fajar Sahata Sitorus
Anggota Biasa PMKRI Cabang Bogor 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar