PENDAHULUAN
Mahasiswa adalah elemen
unik yang hadir di tengah masyarakat. Kehadirannya yang senantiasa diwarnai
kekritisannya dalam merespon isu-isu yang berkembang di masyarakat membuat
mahasiswa memiliki peran strategis. Sikap kritis tersebut bukanlah hal instan yang
muncul begitu saja dari kepribadian seseorang. Sikap kritis dibangun melalui
sebuah proses pembelajaran dan penyadaran. Organisasi merupakan salah satu
gerbang pembelajaran dan penyadaran tersebut.
Karena itulah Mahasiswa
dan Organisasi adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan karena
mahasiswa membutuhkan wadah untuk mengembangkan intelektualnya, menyalurkan gagasan
dan aspirasinya, fasilitas dalam pergerakannya dan sarana dalam berinteraktif,
berkomunikasi dengan komunitasnya dan masyarakat baik intra maupun ekstra
kampus. Disini mahasiswa akan menuangkan segala pemikiran dan merealisasikannya
sebagai proses pembelajaran intelektual dan keilmuan yang telah dimilikinya.
PMKRI (Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) merupakan organisasi ekstra kampus yang
seluruh orientasi dan kegiatannya berazaskan Pancasila, dijiwai Ke-Katolikan
dan disemangati kemahasiswaan yang lahir pada 25 Mei 1947 diposisikan sebagai
wadah aktualisasi intelektual dan gagasan bagi mahasiswa Katolik untuk
menghasilkan karya dan pengabdian bagi gereja dan tanah air.
Dewasa ini eksistensi PMKRI
terus diuji kemampuannya. Antusiasme mahasiswa Katolik sebagai calon kader
menunjukkan penurunan yang signifikan. Era tahun 1990-an, tepatnya pasca
reformasi tahun 1998 PMKRI terasa mengalami kemunduran serius baik dari sisi
kualitatif maupun kuantitatif. Citra populis yang pernah melekat pada pundak PMKRI
bergeser menjadi elitis, politis, bahkan cenderung hedonis. Pemikiran-pemikiran
khas PMKRI yang dijiwai tiga benang merah (Kristianitas, Fraternitas dan
Intelektualitas) dalam merespon isu-isu di ranah gereja maupun negara boleh
dikata sering absen mewarnai publik. Pada sisi kuantitatif, kader sekaligus
ujung tombak sekaligus sel organisasi secara populatif mengalami penurunan serius.
Permasalahan terutama mengenai
kurangnya minat mahasiswa untuk ber-PMKRI mulai dibicarakan dalam berbagai
forum diskusi khususnya dilingkungan intern organisasi, gereja maupun
masyarakat sendiri. Semakin sedikitnya minat mahasiswa untuk berkecimpung dalam
PMKRI menjadi sorotan serius. Ada kesan yang disampaikan berbagai pihak bahwa PMKRI
tidak memperhatikan “Student Need” dan “Student Interest”
sehingga mahasiswa menjadi tidak tertarik terhadap PMKRI bahkan lebih memilih
organisasi lainnya untuk menempa dirinya.
PEMBAHASAN
Menurunnya kualitas
terlebih kuantitas kader di tubuh PMKRI kurang lebih menjadi keprihatinan bagi
seluruh elemen PMKRI. Sebagai organisasi gerakan tentunya perlu taktik dan
strategi untuk memecahkan masalah ini. Di sinilah kiranya PMKRI mendapat
tantangan yang sangat besar. Sebab disamping tujuan yang demikian ideal yang
harus dicapai, waktu, ruang gerak dan sasaran terbatas hanya pada mahasiswa
Katolik. Kondisi ini harus dipahami sebagai realita sosial yang dihadapi oleh
PMKRI, sehingga sejauh mana keberhasilan PMKRI dalam melakukan aktifitas
gerakan sangat tergantung pada seberapa banyak mahasiswa yang menjadi anggota
PMKRI (dalam ukuran kuantitas), juga sejauh mana anggota PMKRI mampu melakukan
proses penyadaran hingga terlibat dalam perubahan sosial baik individu maupun
kelompok di tengah gereja dan masyarakat (dalam ukuran kualitas).
Penulis mencoba memetakan
kondisi mahasiswa secara umum dalam 2 ruang. Yang pertama ruang kampus:
1. Sosial politik; Dunia kampus tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
politik. Mahasiswa tetap jadi garapan strategis bagi kepentingan politik
tertentu. Hal ini terlihat dari gerakan mahasiswa yang erat kaitannya dengan iklim
politik kekinian dan ideology politik tertentu.
2. Pendidikan; Kemampuan analitis dan konsepsi keilmuan mahasiswa
sangat ditentukan oleh desain sistem pendidikan yang sedang berjalan. Pada
aspek inilah, kiranya masa depan bangsa secara umum sejak dini dapat digambarkan
dari warna dan karakter budaya mahasiswa yang terbentuk dari proses pendidikan
tersebut. Logikanya, bahwa sebagian besar penentu kebijakan dan strategi bangsa
di berbagai bidang didominasi oleh kalangan akademisi.
3. Teknologi dan Informasi; Dunia mahasiswa adalah tempat
yang sangat strategis bagi keberlangsungan distribusi produk-produk teknologi
yang erat kaitannya dengan pembangunan pasar global serta upaya menciptakan
budaya konsumerisme. Dalam relitas keseharian dapat dilihat bahwa hampir semua
daerah yang memiliki basis universitas, akses terhadap hasil teknologi dan
produk-produk mutahir selalu terdepan. Pragmatisme mahasiswa yang akhir-akhir
ini semakin marak, mengindikasikan bahwa dunia mahasiswa telah terkooptasi oleh
budaya pasar yang mendorong manusia menjadi konsumtif, mendorong hidup instan
dan keinginan untuk mengikuti budaya tren yang berkembang.
Yang
kedua dalam ruang pelayanan (gereja):
1. Kerohanian; Yang saya artikan disini adalah spirit ke-Katolikan yang
mendasari anggota untuk bertindak dan terlibat bukan suatu ideologi. Semangat
ke-Katolikan ini menjadi suatu ruh yang hanya didefinisikan an sich kerohanian. Pada aspek inilah
mahasiswa Katolik terkadang terjabak dalam suatu pandangan bahwa fungsi
pelayanan hanya berhenti di ruang-ruang gerejawi.
2. Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK); Dalam pembentukan mindset
mahasiswa Katolik, KMK, pendamping dan organ-organ Katolik intra kampus
memiliki peran signifikan. Hal ini terlihat ketika perjumpaan pertama dalam open house, menimbulkan kesan pertama dalam perspektif mahasiswa baru tentang wadah pelayanan,
pengembangan diri serta gambaran tentang situasi kampus. Selain itu
keberadaannya di dalam kampus yang langsung maupun tidak dapat menjangkau
seluruh anggota.
3. Gereja; Yang coba saya definisikan adalah keberadaan pastor
moderator dari KMK-KMK. Secara umum peran gereja dalam konteks KMK di tengah
kampus adalah sebagai penasihat dan pengarah rohani. Hal ini lumrah mengingat
gereja memiliki kewajiban dan tugas sebagai gembala spiritual umat. Alhasil,
pastor moderator selaku guru spiritual anggota memiliki peran tokoh dalam
membangun mindset mahasiswa Katolik di kampus.
Pada dua ruang inilah
gerakan PMKRI dihadapkan pada tantangan dan kondisi sosial yang sangat
dilematis. Disatu sisi jika tetap konsisten pada idealisme gerakan yang
diusung, maka dipastikan minat mahasiswa untuk ikut menjadi anggota serta
kesiapan kader untuk tetap berpegang pada tradisi gerakan sulit diharapkan.
Sementara pada sisi yang lain pilihan desain gerakan yang lebih fleksibel
dengan mengakomodir arus budaya yang dominan, secara kuantitas jumlah anggota
mungkin dapat dipertahankan, namun secara kualitas, kesadaran pada idealisme
yang diusung menjadi sulit untuk ditanamkan
GAGASAN
Secara garis besar setelah melihat ilustrasi dunia kampus dan gereja hari
ini, ada beberapa hal yang kemudian dapat kami rumuskan kedalam sebuah pola dan
formulasi rekrutmen anggota. Diantaranya:
1.
Penguasaan posisi-posisi strategis dalam
unit/lembaga mahasiswa tingkat universitas
Tidak bisa dipungkiri bahwa PMKRI
memiliki track record dalam mencetak
kader-kader dengan leadership mumpuni. Penguasaan akan lembaga/unit kampus
kemahasiswaan menjadi penting sebagai alat sosialisasi eksistensi PMKRI dalam
karya dan pelayanan di ruang kampus.. Sehingga ketertarikan mahasiswa Katolik
untuk berorganisasi dapat dimunculkan. Proses infiltrasi ke dalam suatu lembaga
atau unit tidak harus yang bersifat kerohanian tapi juga yang bersifat umum
sehingga karya dan pelayanan dari kader-kader PMKRI memang menjadi teladan bagi
mahasiswa Katolik lainnya.
2.
Harmonisasi hubungan dengan KMK dan
aparatur kampus
Harmonnisasi merupakan metode terpenting
dalam membumikan PMKRI di dunia kampus, karena betapa tidak, permasalahan yang
seringkali dianggap paling mengganggu terciptanya kelancaran proses perkaderan
adalah ketika adanya resistensi dari KMK dan aparat kampus lainnya (red- dosen,
civitas akademik, dll). Alhasil seringkali PMKRI di black campaign (dibunuh secara karakter) oleh segelintir oknum KMK
sehingga timbul resistensi dr kalangan mahasiswa. Bahkan dalam beberapa kasus
ada yang melarang anggotanya untuk bergabung dengan PMKRI. Pola komunikasi yang
baik dan agenda kerjasama yang sinergis tentu perlu dirumuskan bersama-sama
agar tidak ada kesalahpahaman tentang maksud dan keberadaan PMKRI di dunia
kampus. Intinya keberadaan PMKRI bersama KMK di kampus dalam konteks saling
membangun dan mengisi terutama dalam pengembangan mahasiswa Katolik.
3.
Harmonisasi hubungan dengan pihak gereja
(pastor Moderator)
Dalam konteks PMKRI, mendengar saran dan
nasihat beliau tentu sangat penting, karena lebih dari itu, selain sebagai
penasihat rohani, pastor moderator diharapakan mampu membangun kesan positif
PMKRI di tengah mahasiswa Katolik yang lainnya. Artinya yang kita harapkan ada
proses sosialisasi dari pastor moderator tentang PMKRI kepada mahasiswa
Katolik. Diakui atau tidak pastor moderator berperan penting dalam membangun
paradigma mahasiswa Katolik. Meskipun jujur diakui terkadang ada benturan
gagasan antara kita dengan pastor moderator.
4.
Sosialisasi Simbolik.
Meskipun metode ini terkesan radikal
untuk kalangan minoritas (umat katolik) namun tidak salah juga untuk dicoba. Ada
kecenderungan budaya mahasiswa yakni senang menggunakan simbol-simbol tertentu.
Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena setiap orang tengah mencari
simbol-simbol bagi dirinya (kerinduan identitas simbolik). Oleh karena itu,
misalnya dengan cara memakai baju-baju kaos, jaket berdesain logo PMKRI sebagus
mungkin serta membuat stiker yang dapat menarik perhatian mahasiswa.
5.
Budaya Kolektivitas
Menunjukkan budaya kolektivitas PMKRI baik
di internal kampus maupun di tengah gereja juga menjadi sebagai salah satu
strategi yang penting menggaet simpati para mahasiswa non-PMKRI di
kampus-kampus. Sebab, seperti yang disebut di atas, bahwa hari ini ada sebuah
kecenderungan orang-orang untuk kemudian berusaha mencari jati diri (identitas)
masing-masing yang di anggap sudah mulai kabur di telan globalisasi.
PENUTUP
Beberapa
strategi rekrutmen diatas merupakan proses-proses yang dimungkinkan terjadi
secara alamiah (given) oleh kader-kader PMKRI. Diasumsikan karena telah menjadi
kebiasaan-kebiasaan yang di tradisikan dan akhirnya dianggap efektif guna
rekrutmen anggota. Perkembangan situasi dan
kondisi memungkinkan adanya perubahan variabel dalam memetakan situasi
kemahasiswaan. Kedepannya, perhatian yang
serius lebih utamakan kepada sinergisasi sistem pembinaan
(formal, informal dan non-formal) dengan mengelaborasi need student,
pengembangan kapasitas intelektual maupun penajaman teori-praksis sosial sesuai
visi perhimpunan dengan tetap berpedoman pada aksi-refleksi-aksi. Terima kasih.
Fajar Sahata Sitorus
Anggota Biasa PMKRI Cabang Bogor